SAMPIT, PPOST
Ratusan warga dari sejumlah kecamatan di Kotawaringin Timur ngluruk ke DPRD Kotim, kemarin. Mereka, termasuk di antaranya dari kalangan LSM, menuntut agar aturan mengenai pemanfaatan land clearing hasil pembukaan lahan sawit dipermudah.
Selama ini, menurut mereka, pemanfaatan kayu-kayu tersebut oleh masyarakat, dianggap sebagai tindakan illegal logging. Padahal, kayu-kayu tersebut jika dibabat pihak perusahaan, sah-sah saja. Menurut mereka, belum tentu perusahaan tersebut mengantongi IPK.
Di halaman DPRD Kotim di Sampit, para pendemo mengusung spanduk yang antara lain bertuliskan: ‘Tindak Tegas Perkebunan Sawit yang Membakar dan Menghilangkan Kayu Limbah Hasil Land Clearing Jutaan Kubik’, ‘Pemkab Kotim Harus Bertanggung Jawab Akibat Pembukaan Lahan Sawit’, ‘Kembalikan Lahan Masyarakat dan Periksa Semua Izin Usaha Perkebunan Sawit’, ‘Jangan Kami Masyarakat yang Memanfaatkan Limbah yang Dipenjarakan’, ‘Harus Ditinjau Ulang Izin Perkebunan PT BUM yang Merampas Lahan Masyarakat’, dan ‘Cabut Izin Perkebunan Sawit yang Belum Mendapat Pelepasan Kawasan dari Menhut’.
Para pendemo dalam orasinya menuntut agar pemerintah secara hukum bersikap adil tanpa pandang bulu. Sebab, selama ini mereka terkesan menjadi korban. Untuk memanfaatkan kayu land clearing mereka harus berhadapan dengan hukum. Sementara pihak perusahaan yang terang-terangan melakukan penebangan justru tidak tersentuh sama sekali.
“Jangankan memanfaatkan kayu, untuk membangun rumah saja kami ditangkap oleh aparat! Tolong, di mana letak keadilannya. Sementara PBS sendiri melakukan penebangan, tidak tersentuh oleh hukum!” teriak salah seorang pendemo.
Mereka mengaku memanfaatkan kayu, maupun melakukan penambangan hanyalah sekedar untuk mencari makan karena kebutuhan keluarga. Sementara pihak PBS yang terus membuka lahan dan membabat hutan hingga pohon-pohon kecil tidak diberikan sanksi.
Para pengunjuk rasa juga mengkritisi razia illegal mining yang terkesan membabi buta. Alasan mereka bahwa mereka melakukannya di lahan sendiri dan bukan di lahan sawit.
“Kami tidak ingin menjadi perampok atau maling. Kami hanya ingin bekerja secara baik-baik di tanah kami sendiri,” kata mereka.
Menurut mereka, isu pencemaran merkuri adalah fitnah untuk mendiskreditkan para penambang. Mereka keberatan dengan izin yang diberikan kepada PBS karena dianggap menghancurkan lingkungan dan kebun mereka sehingga warga merasa kehilangan masa depan.
Unjuk rasa tersebut kendati berlangsung damai, namun mendapat pengamanan yang ketat dari aparat. Para pengunjuk rasa disambut oleh Wakil Ketua DPRD Kotim, H. Supriyadi dan anggota John Krisli serta Yahanes Aridian. naf
Ratusan warga dari sejumlah kecamatan di Kotawaringin Timur ngluruk ke DPRD Kotim, kemarin. Mereka, termasuk di antaranya dari kalangan LSM, menuntut agar aturan mengenai pemanfaatan land clearing hasil pembukaan lahan sawit dipermudah.
Selama ini, menurut mereka, pemanfaatan kayu-kayu tersebut oleh masyarakat, dianggap sebagai tindakan illegal logging. Padahal, kayu-kayu tersebut jika dibabat pihak perusahaan, sah-sah saja. Menurut mereka, belum tentu perusahaan tersebut mengantongi IPK.
Di halaman DPRD Kotim di Sampit, para pendemo mengusung spanduk yang antara lain bertuliskan: ‘Tindak Tegas Perkebunan Sawit yang Membakar dan Menghilangkan Kayu Limbah Hasil Land Clearing Jutaan Kubik’, ‘Pemkab Kotim Harus Bertanggung Jawab Akibat Pembukaan Lahan Sawit’, ‘Kembalikan Lahan Masyarakat dan Periksa Semua Izin Usaha Perkebunan Sawit’, ‘Jangan Kami Masyarakat yang Memanfaatkan Limbah yang Dipenjarakan’, ‘Harus Ditinjau Ulang Izin Perkebunan PT BUM yang Merampas Lahan Masyarakat’, dan ‘Cabut Izin Perkebunan Sawit yang Belum Mendapat Pelepasan Kawasan dari Menhut’.
Para pendemo dalam orasinya menuntut agar pemerintah secara hukum bersikap adil tanpa pandang bulu. Sebab, selama ini mereka terkesan menjadi korban. Untuk memanfaatkan kayu land clearing mereka harus berhadapan dengan hukum. Sementara pihak perusahaan yang terang-terangan melakukan penebangan justru tidak tersentuh sama sekali.
“Jangankan memanfaatkan kayu, untuk membangun rumah saja kami ditangkap oleh aparat! Tolong, di mana letak keadilannya. Sementara PBS sendiri melakukan penebangan, tidak tersentuh oleh hukum!” teriak salah seorang pendemo.
Mereka mengaku memanfaatkan kayu, maupun melakukan penambangan hanyalah sekedar untuk mencari makan karena kebutuhan keluarga. Sementara pihak PBS yang terus membuka lahan dan membabat hutan hingga pohon-pohon kecil tidak diberikan sanksi.
Para pengunjuk rasa juga mengkritisi razia illegal mining yang terkesan membabi buta. Alasan mereka bahwa mereka melakukannya di lahan sendiri dan bukan di lahan sawit.
“Kami tidak ingin menjadi perampok atau maling. Kami hanya ingin bekerja secara baik-baik di tanah kami sendiri,” kata mereka.
Menurut mereka, isu pencemaran merkuri adalah fitnah untuk mendiskreditkan para penambang. Mereka keberatan dengan izin yang diberikan kepada PBS karena dianggap menghancurkan lingkungan dan kebun mereka sehingga warga merasa kehilangan masa depan.
Unjuk rasa tersebut kendati berlangsung damai, namun mendapat pengamanan yang ketat dari aparat. Para pengunjuk rasa disambut oleh Wakil Ketua DPRD Kotim, H. Supriyadi dan anggota John Krisli serta Yahanes Aridian. naf
0 komentar:
Posting Komentar