PALANGKA RAYA, PPOST
Mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunung Mas (Gumas), Drs Huber Doyom akhirnya mengajukan Eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Eksepsi ini disampaikan pada persidangan di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Senin (8/3) kemarin.
Dalam eksepsi tersebut dijelaskan bahwa dakwaan kabur alias tidak jelas dan harus dibatalkan dan tidak dapat diterima secara hukum. Dan perbuatan yang didakwa sebenarnya bukan perkara pidana, melainkan perkara PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Eksepsi yang berjumlah 22 halaman yang dibacakan Penasehat Hukum terdakwa, Wikarya F Dirun SH menyimpulkan dakwaan JPU telah keliru dalam menetapkan siapa sebenarnya pelaku yang seharusnya bertanggungjawab dalam perkara ini sesuai dengan tugas dan wewenang serta tanggungjawab yang diterima melalui tugas pembantuan dengan kewenangan yang didelegasikan dari Pengguna Anggaran. Atau dengan kata lain, dakwaan JPU terhadap terdakwa tidak melakukan uji materil atas surat-surat bukti yang ternyata untuk melakukan pengujian tersebut bukan merupakan tugas dan wewenang dari terdakwa Huber Doyom.
“JPU tidak pernah melakukan uji materil atas surat-surat bukti. Dan Huber Doyom sebagai kapasitas Kepala Dinas tidak bertanggungjawab dan tidak mempunyai wewenangnya,” ujar Wikarya dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hendra Situmorang SH, Suryanto SH, Saidin Bagariang SH serta PP Samlawy SH.
Wikarya meminta kepada Majelis Hakim untuk dapat menerima eksepsi yang diajukan terdakwa karena dakwaan JPU bukan pada lingkup tugas dan wewenang kliennya, melainkan pejabat tata usaha negara lainnya.
Juga menyatakan dakwaan primair dan subsidair yang didakwakan dibatalkan, karena tidak dapat diterima secara hukum.
Sementara JPU, M Arief Basuki SH secara tegas mengatakan siap menerima eksepsi terdakwa namun, yang sudah didakwakan dalam berita acara merupakan hasil penelusuran yang panjang untuk membuktikan keterlibatan terdakwa dalam kasus korupsi ini.
Diketahui, terdakwa Huber Doyom bersama tiga terdakwa lainnya yaitu Hiskia Paulus, Ir Eka Subrata serta Drs Imanuel G Akar, terlibat korupsi mark up pada proyek Kegiatan Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) tahun 2006 sebesar Rp3,4 Milyar di Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gumas.
Dugaan mark up atau penggelembungan dana dapat terlihat dengan tingginya harga bibit pada penetapan HPS/OE yang mencapai Rp30 ribu per batang, padahal di Banjarmasin harganya sangat jauh dibawah yaitu Rp6-9 ribu per batang untuk rambutan, Rp10-15 ribu per batang untuk jeruk serta Rp15-20 ribu per batang untuk mangga.
Dan ironisnya pada penyerahan bibit kepada masyarakat penerima bantuan tidak sesuai dengan yang diharapkan karena bibit sudah dalam keadaan yang rusak dengan polibag yang terlepas dari bibit serta volume yang diterima masyarakat tidak sesuai dengan yang dilampirkan dalam SK Kepala Dinas tentang Penetapan Nama Calon Penerima dan Jumlah Volumenya. Dari mark up tersebut, akhirnya negara mengalami kerugian sebesar Rp3,4 Milyar.
Keempatnya oleh JPU telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) (2) (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. asr
Mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunung Mas (Gumas), Drs Huber Doyom akhirnya mengajukan Eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Eksepsi ini disampaikan pada persidangan di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Senin (8/3) kemarin.
Dalam eksepsi tersebut dijelaskan bahwa dakwaan kabur alias tidak jelas dan harus dibatalkan dan tidak dapat diterima secara hukum. Dan perbuatan yang didakwa sebenarnya bukan perkara pidana, melainkan perkara PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Eksepsi yang berjumlah 22 halaman yang dibacakan Penasehat Hukum terdakwa, Wikarya F Dirun SH menyimpulkan dakwaan JPU telah keliru dalam menetapkan siapa sebenarnya pelaku yang seharusnya bertanggungjawab dalam perkara ini sesuai dengan tugas dan wewenang serta tanggungjawab yang diterima melalui tugas pembantuan dengan kewenangan yang didelegasikan dari Pengguna Anggaran. Atau dengan kata lain, dakwaan JPU terhadap terdakwa tidak melakukan uji materil atas surat-surat bukti yang ternyata untuk melakukan pengujian tersebut bukan merupakan tugas dan wewenang dari terdakwa Huber Doyom.
“JPU tidak pernah melakukan uji materil atas surat-surat bukti. Dan Huber Doyom sebagai kapasitas Kepala Dinas tidak bertanggungjawab dan tidak mempunyai wewenangnya,” ujar Wikarya dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hendra Situmorang SH, Suryanto SH, Saidin Bagariang SH serta PP Samlawy SH.
Wikarya meminta kepada Majelis Hakim untuk dapat menerima eksepsi yang diajukan terdakwa karena dakwaan JPU bukan pada lingkup tugas dan wewenang kliennya, melainkan pejabat tata usaha negara lainnya.
Juga menyatakan dakwaan primair dan subsidair yang didakwakan dibatalkan, karena tidak dapat diterima secara hukum.
Sementara JPU, M Arief Basuki SH secara tegas mengatakan siap menerima eksepsi terdakwa namun, yang sudah didakwakan dalam berita acara merupakan hasil penelusuran yang panjang untuk membuktikan keterlibatan terdakwa dalam kasus korupsi ini.
Diketahui, terdakwa Huber Doyom bersama tiga terdakwa lainnya yaitu Hiskia Paulus, Ir Eka Subrata serta Drs Imanuel G Akar, terlibat korupsi mark up pada proyek Kegiatan Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) tahun 2006 sebesar Rp3,4 Milyar di Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gumas.
Dugaan mark up atau penggelembungan dana dapat terlihat dengan tingginya harga bibit pada penetapan HPS/OE yang mencapai Rp30 ribu per batang, padahal di Banjarmasin harganya sangat jauh dibawah yaitu Rp6-9 ribu per batang untuk rambutan, Rp10-15 ribu per batang untuk jeruk serta Rp15-20 ribu per batang untuk mangga.
Dan ironisnya pada penyerahan bibit kepada masyarakat penerima bantuan tidak sesuai dengan yang diharapkan karena bibit sudah dalam keadaan yang rusak dengan polibag yang terlepas dari bibit serta volume yang diterima masyarakat tidak sesuai dengan yang dilampirkan dalam SK Kepala Dinas tentang Penetapan Nama Calon Penerima dan Jumlah Volumenya. Dari mark up tersebut, akhirnya negara mengalami kerugian sebesar Rp3,4 Milyar.
Keempatnya oleh JPU telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) (2) (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. asr
0 komentar:
Posting Komentar