KUALA KAPUS, PPOST
Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Kapuas H Pahmi menyatakan, keberadaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang beroperasi di Kabupaten Kapuas bagaikan buah simalakama. Pihak PBS telah melakukan dengan benar atas usahanya sedangkan di sisi lain Pemkab berhadapan dengan masyarakat yang mempermasalahkan ganti rugi lahan.
“Hal inilah yang banyak kita temui di lapangan saat melakukan kunjungan kerja ke beberapa PBS, seperti PT Dwi Warna Karya, PT KRS, PT Wana Catur dan PT KMJ yang ada di kawasan Kecamatan Kapuas Tengah, Timpah dan Kecamatan Kapuas Hulu,” papar Pahmi, Sabtu (13/3).
Menurutnya, karena disadari atau tidak disadari, langsung dan tidak langsung akan bersinggung dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 18 Tahun 2002 tentang perkebunan dan Keputusan Menteri Kehutanan No 48 Tahun 2004 tentang perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan No 70 Tahun 1971 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi hutan. “Selama ini banyak opini yang berkembang dan menjadikan sentral bahwa kegiatan PBS cenderung terindikasi terhadap permasalahan diatas. Kecenderungan di atas tentu dirasakan menjadi sebuah ancaman dalam aktivitas mereka padahal keberadaan PBS terlepas dari produk aturan ini,” ucap Pahmi didampingi Wakil Ketua Komisi II, Darwandie IDJ.
Berbicara aturan, ucapnya, keberadaan mereka (PBS.red) jadi serba salah dan tidak jelas. Padahal, PBS jauh dari produk tersebut karena mereka sudah ada di sana. Diharapkan rencana revisi RTRWP akan menjadi jawaban semuan ini dan Pemkab harus berpikir keras mencari jalan keluar terhadap permasalahan tersebut.
Waket Komisi II Darwandie menambahkan, dari hasil kunjungan ke beberapa PBS, kegiatan yang dilakukan selama ini tidak lebih melakukan kegiatan pemeliharaan saja. Untuk permasalahan yang berbenturan langsung dengan masyarakat, dewan hanya memberikan solusi dalam penyelesaian masalah yang menyangkut sengketa tanah dan hutan adat. “Dan selama ini kami juga bingung bagaimana itu hutan adat,” ucapnya.
Untuk permasalahan yang menonjol yaitu belum terselesaikan sengketa tata batas antar desa dan antar masing- masing PBS, ketidakpastian terhadap parameter kawasan yang di sebut hutan adat. Kepada Pemda harus memberikan surat edaran bagaimana hutan adat tersebut, imbuh Darwandie.
Selain itu, tambahnya, tetapkan standar harga ganti rugi lahan dan mengenai perijinan, masing-masing PBS belum mengajukan usulan rekomendasi terhadap Pemerintah untuk pelepasan kawasan hutan di karenakan masih menunggu RTRWP.rc
Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Kapuas H Pahmi menyatakan, keberadaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang beroperasi di Kabupaten Kapuas bagaikan buah simalakama. Pihak PBS telah melakukan dengan benar atas usahanya sedangkan di sisi lain Pemkab berhadapan dengan masyarakat yang mempermasalahkan ganti rugi lahan.
“Hal inilah yang banyak kita temui di lapangan saat melakukan kunjungan kerja ke beberapa PBS, seperti PT Dwi Warna Karya, PT KRS, PT Wana Catur dan PT KMJ yang ada di kawasan Kecamatan Kapuas Tengah, Timpah dan Kecamatan Kapuas Hulu,” papar Pahmi, Sabtu (13/3).
Menurutnya, karena disadari atau tidak disadari, langsung dan tidak langsung akan bersinggung dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 18 Tahun 2002 tentang perkebunan dan Keputusan Menteri Kehutanan No 48 Tahun 2004 tentang perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan No 70 Tahun 1971 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi hutan. “Selama ini banyak opini yang berkembang dan menjadikan sentral bahwa kegiatan PBS cenderung terindikasi terhadap permasalahan diatas. Kecenderungan di atas tentu dirasakan menjadi sebuah ancaman dalam aktivitas mereka padahal keberadaan PBS terlepas dari produk aturan ini,” ucap Pahmi didampingi Wakil Ketua Komisi II, Darwandie IDJ.
Berbicara aturan, ucapnya, keberadaan mereka (PBS.red) jadi serba salah dan tidak jelas. Padahal, PBS jauh dari produk tersebut karena mereka sudah ada di sana. Diharapkan rencana revisi RTRWP akan menjadi jawaban semuan ini dan Pemkab harus berpikir keras mencari jalan keluar terhadap permasalahan tersebut.
Waket Komisi II Darwandie menambahkan, dari hasil kunjungan ke beberapa PBS, kegiatan yang dilakukan selama ini tidak lebih melakukan kegiatan pemeliharaan saja. Untuk permasalahan yang berbenturan langsung dengan masyarakat, dewan hanya memberikan solusi dalam penyelesaian masalah yang menyangkut sengketa tanah dan hutan adat. “Dan selama ini kami juga bingung bagaimana itu hutan adat,” ucapnya.
Untuk permasalahan yang menonjol yaitu belum terselesaikan sengketa tata batas antar desa dan antar masing- masing PBS, ketidakpastian terhadap parameter kawasan yang di sebut hutan adat. Kepada Pemda harus memberikan surat edaran bagaimana hutan adat tersebut, imbuh Darwandie.
Selain itu, tambahnya, tetapkan standar harga ganti rugi lahan dan mengenai perijinan, masing-masing PBS belum mengajukan usulan rekomendasi terhadap Pemerintah untuk pelepasan kawasan hutan di karenakan masih menunggu RTRWP.rc
0 komentar:
Posting Komentar