PALANGKA RAYA, PPOST
Keadilan rupanya masih tetap menjadi mimpi dalam upaya penegakan hukum di Kalteng. Keadaan ini dibuktikan dengan makin banyak kasus yang tidak jelas arah dan kepastiannya.
Seperti yang dikatakan salah seorang praktisi hukum di Kalteng, Labih Marat Binti SH bahwa saat ini penegakan keadilan tampak dipermainkan oleh para penegak hukum itu sendiri.
Dua kasus yang disoroti dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat adalah kasus penghinaan dan perbuatan tidak menyenangkan dari seorang Indiwati Rahayu (27) dan tuntutan setahun dalam kasus korupsi yang sempat menghebohkan Kota Palangka Raya, bahkan di Kalteng pada umumnya.
Dikatakan Labih, kasus Indiwati Rahayu yang kini ditanganinya adalah contoh nyata, di mana Indiwati Rahayu yang dijadikan terdakwa dalam kasus perbuatan tak menyenangkan berdasarkan Pasal 335 atau Penghinaan berdasarkan Pasal 310 KUH Pidana karena laporan Mailani Waty pada Tanggal 6 Oktober 2009 yang saat ini perkaranya sudah masuk ke tahap penuntutan JPU, mempertanyakan penerapan pasal 335 KUH Pidana tersebut oleh JPU.
“Klien kami senyatanya tidak melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan JPU, karena tidak ada satupun fakta hukum yang dapat menerangkan, sehingga klien kami dapat dijadikan tersangka. Peristiwa yang diuraikan JPU dalam Surat Dakwaan, kami yakini semata-mata karangan dan rekaan yang dirangkai hanya berdasarkan keterangan saksi-saksi yang patut diduga palsu dan kesemuanya tidak dapat dikatakan sebagai fakta hukum,” ujar Labih Marat Binti dalam rilis yang diterima harian ini di Palangka Raya, Jumat (26/2).
Lebih jauh lagi, Labih mengatakan, Pasal 335 KUH Pidana hanya dapat diterapkan jika memang terjadi sentuhan fisik yang disengaja, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan tak menyenangkan. Karena itu, penerapan Pasal 335 KUH Pidana dicurigainya sebagai upaya pembenaran agar JPU dapat melakukan penahanan terhadap kliennya.
Sedangkan Mailani Waty yang telah menganiaya Indiwati sampai luka-luka dan ini merupakan fakta hukum yang tak terbantahkan, hanya dikenakan Pasal 352 KUHPidana.
Selain itu, Labih juga menyoroti kerja dari kejaksaan yang dinilainya menggunakan standar ganda dalam penyusunan tuntutan. Di mana, kasus korupsi berjamaah di DPRD Kota Palangka Raya, ternyata sangat miris dengan tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum yang menganggap kasus korupsi seperti kasus pidana umum.
“Siapa yang menggunakan standar ganda dalam penyusunan rencana tuntutan, Kejagung ataukah Kejari? Masyarakatlah yang boleh menilainya sendiri,” tegas Labih.
Dia kemudian meminta kepada Kejaksaan Tinggi Kalteng untuk dapat menyikapi dengan arif, sehingga tidak ada yang bertanya-tanya mengenai penegakan hukum yang benar-benar bersih di mata masyarakat. asr
Keadilan rupanya masih tetap menjadi mimpi dalam upaya penegakan hukum di Kalteng. Keadaan ini dibuktikan dengan makin banyak kasus yang tidak jelas arah dan kepastiannya.
Seperti yang dikatakan salah seorang praktisi hukum di Kalteng, Labih Marat Binti SH bahwa saat ini penegakan keadilan tampak dipermainkan oleh para penegak hukum itu sendiri.
Dua kasus yang disoroti dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat adalah kasus penghinaan dan perbuatan tidak menyenangkan dari seorang Indiwati Rahayu (27) dan tuntutan setahun dalam kasus korupsi yang sempat menghebohkan Kota Palangka Raya, bahkan di Kalteng pada umumnya.
Dikatakan Labih, kasus Indiwati Rahayu yang kini ditanganinya adalah contoh nyata, di mana Indiwati Rahayu yang dijadikan terdakwa dalam kasus perbuatan tak menyenangkan berdasarkan Pasal 335 atau Penghinaan berdasarkan Pasal 310 KUH Pidana karena laporan Mailani Waty pada Tanggal 6 Oktober 2009 yang saat ini perkaranya sudah masuk ke tahap penuntutan JPU, mempertanyakan penerapan pasal 335 KUH Pidana tersebut oleh JPU.
“Klien kami senyatanya tidak melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan JPU, karena tidak ada satupun fakta hukum yang dapat menerangkan, sehingga klien kami dapat dijadikan tersangka. Peristiwa yang diuraikan JPU dalam Surat Dakwaan, kami yakini semata-mata karangan dan rekaan yang dirangkai hanya berdasarkan keterangan saksi-saksi yang patut diduga palsu dan kesemuanya tidak dapat dikatakan sebagai fakta hukum,” ujar Labih Marat Binti dalam rilis yang diterima harian ini di Palangka Raya, Jumat (26/2).
Lebih jauh lagi, Labih mengatakan, Pasal 335 KUH Pidana hanya dapat diterapkan jika memang terjadi sentuhan fisik yang disengaja, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan tak menyenangkan. Karena itu, penerapan Pasal 335 KUH Pidana dicurigainya sebagai upaya pembenaran agar JPU dapat melakukan penahanan terhadap kliennya.
Sedangkan Mailani Waty yang telah menganiaya Indiwati sampai luka-luka dan ini merupakan fakta hukum yang tak terbantahkan, hanya dikenakan Pasal 352 KUHPidana.
Selain itu, Labih juga menyoroti kerja dari kejaksaan yang dinilainya menggunakan standar ganda dalam penyusunan tuntutan. Di mana, kasus korupsi berjamaah di DPRD Kota Palangka Raya, ternyata sangat miris dengan tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum yang menganggap kasus korupsi seperti kasus pidana umum.
“Siapa yang menggunakan standar ganda dalam penyusunan rencana tuntutan, Kejagung ataukah Kejari? Masyarakatlah yang boleh menilainya sendiri,” tegas Labih.
Dia kemudian meminta kepada Kejaksaan Tinggi Kalteng untuk dapat menyikapi dengan arif, sehingga tidak ada yang bertanya-tanya mengenai penegakan hukum yang benar-benar bersih di mata masyarakat. asr
0 komentar:
Posting Komentar