PALANGKA RAYA – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah mengungkapkan adanya tumpang tindih perizinan yang terjadi di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat. Overlap perizinan itu terungkap dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Kalteng, Kamis (30/6).
Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Sipet Hermanto kepada wartawan, kemarin, mengungkapkan RDP tersebut fokus melakukan pembahasan terhadap lima konsesi perkebunan yang dianggap bermasalah. Namun, satu konsesi yaitu milik PT Perkebunan Nusantara XIII dianggap bersih karena sudah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan sejak 1987 dengan luasan 25 ribu hektare.
“Dalam RDP kita fokus membahas lima konsesi, di antaranya dua di Kobar, dua di Kotim dan satu di Seruyan. Di antara lima tersebut, satu sudah memiliki izin pelepasan kawasan, sementara empat lainnya baru penyelesaian perizinan di tingkat kabupaten dengan dasar Perda 8/2003,” ujar Sipet.
Dijelaskan, jika berpedoman pada perda tersebut, konsesi perkebunan tersebut berada pada kawasan peruntukan lain (KPL). Tetapi, ada juga perusahaan yang berada pada hutan produksi (HP). Diharapkan, konsesi perkebunan yang berada di kawasan HP tersebut dikeluarkan dalam perizinan karena harus melewati proses pelepasan kawasan hutan.
Dikatakan, untuk konsesi yang ada di Kobar dan Kotim ternyata terjadi tumpang tindih antara konsesi perkebunan dengan kehutanan dan perkebunan dengan pertambangan, khususnya pasir sirkon. Seperti yang terjadi pada konsesi milik PT Berkat Cahaya Timber dengan luas 1.600 hektare yang mengalami tumpang tindih dengan konsesi lain.
Selain itu, jelasnya, di Kobar juga terjadi tumpang tindih perizinan konsesi perkebunan mengalami overlap dengan konsesi pertambangan pasir sirkon. Ini tentunya sangat sulit, karena tumpang tindih perizinan antara perkebunan dan pertambangan tidak bisa dilakukan karena akan merugikan salah satu pihak.
“Jika pertambangan melakukan aktivitas di mana di atasnya terdapat perkebunan, tentu akan mengganggu aktivitas perkebunan. Begitu juga sebaliknya,” ujar Sipet.
Permasalahan tersebut, jelasnya, terungkap dalam RDP dengan Komisi B DPRD Kalteng dan menjadi bahan untuk pemerintah kabupaten dan pihak perusahaan untuk berkoordinasi lebih lanjut tentang kebenaran permasalahan yang terungkap dalam RDP tersebut.
Diharapkan, kegiatan investasi di Kalteng pada semua sektor tak mengabaikan ketentuan yang berlaku. Dengan begitu, potensi konflik antara perusahaan dengan perusahaan, perusahaan dengan masyarakat akan bisa diminimalisir.
“Potensi konflik antara perusahaan dengan perusahaan bisa terjadi apabila izin perusahaan pertambangan mengalami overlaping dengan perkebunan,” ujar Sipet.
Dalam RDP tersebut, jelasnya, Komisi B DPRD Kalteng menyarankan agar konsesi yang mengalami overlaping tersebut dikembalikan kepada pemerintah kabupaten setempat, karena otoritas pemberian ijin ada di kabupaten setempat. mhs
0 komentar:
Posting Komentar